Minggu, 07 April 2013

Jangan hanya memenangkan perang kata-kata


Misalnya, seorang terdakwa yang duduk di depan hakim atau juri seringkali mengungkapkan pembelaan sebagai berikut. “Juri yang terhormat saya tidak peduli lagi berapa lama saya dihukum. Tetapi, mohon diingat bahwa saya memiliki tiga orang anak kecil di rumah dan istri yang tidak bekerja. Apapun hukuman yang saya terima akan berarti juga menghukum keluarga saya yang tidak bersalah tersebut. Mohon juri yang terhormat mempertimbangkan keputusan yang seadil adilnya bagi keluarga saya yang tidak berdosa tersebut.”
Itulah contoh dari kekuatan moralitas. Seorang negosiator bisa saja meminta lawannya untuk menyepakati kesepakatan kesepakatan yang bersifat adil, meskipun secara materi kesepakatan tersebut lebih menguntungkan perusahaan yang kecil daripada perusahaan yang besar. Apalagi dalam kondisi dimana perundingan tersebut di dalam coverage media masa, maka setiap negosiator harus mempertimbangkan aspek moralitas tersebut sebagai bagian dari reputasi perusahaan.

keahlian diperlukan untuk memberikan roadmap yang jelas terhadap suatu proposal kesepakatan.
Artinya untuk menjadi negosiator yang kuat, si negosiator tersebut harus memiliki knowledge dan keahlian yang bisa meyakinkan orang lain. Kalau tidak, negosiatior juga harus meminta bantuan pihak ketiga yang dianggap independen dan memiliki legitimasi keilmuan dalam bidang tersebut.
4. Kekuatan Mengetahui Kebutuhan Orang lain.
Dalam semua negosiasi ada dua hal yang dirundingkan. Pertama, permintaan atau isu spesifik yang dinyatakan secara terbuka oleh para pihak terkait. Kedua, kebutuhan riil yang dimiliki oleh masing masing pihak yang biasanya tidak dinyatakan secara eksplisit.
Dalam negosiasi berlaku hukum “listen what they did not say.“ Seorang negosiator yang cerdas dan kuat adalah negosiator yang bisa mendengarkan apa yang tidak dikatakan oleh lawannya. Negosiator yang baik adalah negosiator yang bisa memahami kebutuhan riil lawannya.
Banyak negosiasi berakhir dengan kegagalan karena para negosiator hanya terfokus pada memenangkan perang kata kata, bukannya merundingkan kepentingan dan kebutuhan riil dari semua pihak. Apabila seorang negosiator bisa mengetahui variasi kebutuhan yang dimiliki oleh lawannya (misalnya, dengan menggunakan piramida hirarki kebutuhannya Maslow), maka dia memiliki peluang untuk melakukan barter satu kebutuhan dengan kebutuhan yang lain.